Kaum Muda dan Kepemimpinan Alternatif
Oleh: Aryanto Abidin
Setiap generasi adalah milik zamannya masing-mmasing, demikian juga dalam hal regenerasi kepemimpinan. Dalam setiap suksesi kepemimpinan, maka akan lahir pemimpin baru sesuai dengan karakter zamannya masing-masing. Ketika pada masa awal terbentuknya republik ini, banyak anak negeri yang terlahir sebagai tokoh-tokoh muda yang mampu menggerakan emosi dan seluruh kekuatan bangsa untuk melawan penjajahan, baik secara fisik maupun secara politik. Sebut saja Jenderal sudirman, Sokarta, Hatta, Tan Malaka, Agus Salim, HOS Cokroaminoto, dr. Sutomo, Wahidin Sudiro Husodo, dll. Mereka semua adalah tokoh muda yang berpengaruh pada masanya. Mereka tidak terlahir begitu saja, akan tetapi mereka mepersiapkan diri jauh hari sebelumnya. Mereka sadar betul bahwa mereka lah yang akan mewariskan negeri ini. Karena mereka sadar akan eksistensinya, maka merekapun mempersiapkan diri untuk menjadi bagian terpenting dari negeri ini. Jika membaca lembaran sejarah kita, maka kita akan menemukan warisan kejayaan anak muda bangsa ini dalam membangun dan memerdekaan bangsa ini.
Reformasi 1998 merupakan bukti betapa orang-orang muda yang berpikiran progresif mampu menumbangkan rezim yang berkuasa (orde baru). Peristiwa tersebut merupakan sebuah peristiwa besar dalam sejarah gerakan mahasiswa. Betapa tidak, mahasiswa Indonesia yang saat itu populasinya hanya 2 persen dari penduduk Indonesia mampu meruntuhkan rezim yang kuat dan otoriter yang telah berkuasa selama 32 tahun. Bagi gerakan mahasiswa, keberhasilan ini merupakan sebuah pengalaman baru. Runtuhnya rezim orde baru sekaligus menandai runtuhnya simbol kediktatoran rezim yang berkuasa. Rasa-rasanya ini seperti sebuah romantisme masa lalu, akan tetapi mau tidak mau, suka tidak suka itulah kenyataan yang tak terbantahkan dari peristiwa heroik anak muda bangsa ini.
Reformasi 1998 membawa angin segar bagi terciptanya demokratisasi di negeri ini. Sayangnya, perubahan besar ini tidak diwarnai dengan perubahan yang berarti dalam pondasi kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebut saja korupsi yang semakin merajalela, kondisi ekonomi yang kian terpuruk, sekalipun telah beberapa kali ganti pemerintahan. Era pemerintahan Megawati, terjadi penjulan aset negeri ini kepda asing secara serampangan dan membabi buta. Pada masa pemerintahan Megawati pulalah diterbitkannya surat pengampunan utang (release and discharge/R&D) bagi koruptor kelas kakap negeri ini. Yang lebih mengerikan lagi adalah ketika pemerintahan Gus Dur. Pada pemerintahannya Gusdur merupakan sosok pemimpin yang kontroversial. Gusdur selalu mengeluarkan pernyataan politik yang kontroversial dan cenderung menafsirkan hukum semaunya dan selalu melawan arus.
Perjuangan gerakan mahasiswa 1998 menjadi hambar dan sedikit ternodai oleh gaya kepimpinan pemerintah yang berkuasa pasca reformasi. Bukan memperbaiki dan mensejahterahkan rakyat, justru reformasi dimanfaatkan oleh kelompok tertentu untuk mengeruk keuntungan sebanyak banyaknya, serta menancapkan kuku kekusaan. Hal ini menjadi indikasi betapa momentum reformasi dijadikan alat kekuasaan yang sangat keji tanpa ada niat sedikitpun untuk memperbaiki negeri ini dari keterpurukan. Meskipun rezim orde baru telah runtuh, namun watak orde baru masih melekat pada orang yang mengendalikan pemerintah pasca reformasi. Hal ini menunjukan bahwa perjuangan mahasiswa dan pemuda hanya sebagai martil perubahan saja. Oleh karena itu, penting artinya jika orang-orang muda yang berpikiran progresif menjadi penyeimbang dalam sistem kepimimpinan nasional kita hari ini.
Siapakah Kaum Muda itu?
Dalam konteks keindonesiaan saat ini, kita membutuhkan pemimpin alternatif yang dapat menggelorakan semangat rakyat Indonesia untuk maju. Kepemimpinan yang dimaksud adalah kepemimpinan kaum muda yang transformatif (mampu merefleksikan gagasan/ide ke tataran praksis). Akan tetapi, perlu kita samakan persepsi dulu, siapakah kaum muda itu? Apakah definisi kaum muda itu semata-mata ditentukan menurut batasan umur saja? Ataukah kaum muda itu adalah sebuah definisi yang dipakai dalam pergulatan pemikiran ataupun gagasan? Jika kita merujuk pada kamus besar bahasa indonesia edisi kedua (1995), maka definisi pemuda adalah mereka yang sudah mulai dewasa dan sudah sampai umur untuk kawin. Dalam undang-undang perkawinan, usia kawin adalah 16 tahun bagi perempuan dan 19 tahun bagi laki-laki. Sedangkan dalam penjelasan undang-undang tersebut, usia dewasa adalah 21 tahun. Jadi, bisa ditarik kesimpulan bahwa kaum muda adalah mereka yang berumur mulai 16 tahun hingga 50 tahun. Tapi ada juga yang mengambil batasan umur 18-50 tahun. Beberapa pendapat mengatakan bahwa usia produktif adalah berkisar antara 25-55 tahun. Dalam pandangan Pramudya Ananta Tour, kaum muda tidak bisa dikotakan dalam batasan umur semata, akan tetapi kaum muda adalah mereka yang memiliki gagasan yang progressif, radikal dan militan. Oleh karena itu, batasan umur akan menjadi gugur jika gagasan mereka cenderung status quo.
Kita meski berkaca pada Ahmadinejad (Iran), Hogo Chavez (Venezuela) dan Evo Morales (Bolivia) serta pada Soekarno, pendiri bangsa ini. Mereka ini adalah pemimpin yang pemberani dan memiliki ide dan gagasan yang progresif, radikal dan militant. Negara-negara ini berhasil menegakan kepalanya di pergaulan internasional, meskipun ketiga Negara tersebut oleh Amerika dianggap kontroversi. Ini lantaran karna pemimpin mereka punya keberanian terhadap intervensi asing terhadap Negara mereka. Ahmadinejad berhasil meyakinkan PBB bahwa mereka tidak memanfaatkan nuklir sebagai senjata pemusnah massal serta menantang Gerge W Bush untuk berdebat. Evo Morales dan Hugo Chavez dengan negara penghasil minyaknya berhasil menasionalisasi aset dan mengusir perusahaan asing keluar dari negara mereka karena dianggap mengeruk kekayaan negera mereka. Lebih gila lagi, Hugo Chavez menyebut George W. Bush sebagai iblis di depan majelis PBB. Soekarno pada masa kepemimpinannya mampu menjadikan Indonesia sebagai negara berdaulat dan disegani di mata dunia.
Mengapa Harus Kepemimpinan Alternatif?
Kita ketahui bersama, meskipun pemerintahan SBY-JK terpilih langsung oleh rakyat dalam pemilu 2004, namun pemerintahan yang sekarang gagal menjalankan fungsinya mensejahterakan rakyat Indonesia. Dalam pemerintahan ini pula, harga BBM telah dua kali mengalami kenaikan. Meminjam pisau analisisnya Firmansyah (www.alumnihmi.com) bahwa kita sedang mengalami Kompleksitas nasional. Lebih lanjut Ia mengatakan bahwa setelah 100 tahun kebangkitan dan 10 tahun reformasi ini masih ditandai dengan lemahnya struktur dan daya saing perekonomian, penegakkan hukum, pemberantasan korupsi, pelaksanaan otonomi dan desentralisasi, besarnya hutang luar negeri, tingkat kemiskinan dan pengangguran, tuntutan demokratisasi, dan ancaman desintegrasi. Sedangkan pada tataran internasional, ditandai situasi, kondisi, tantangan dan tuntutan, yang makin kompleks, selalu berubah, penuh ketidakpastian, dan bahkan sering tidak ramah. Perkembangan lingkungan stratejik tersebut menuntut pemimpin dan yang solid, mampu mengantisipasi perkembangan ke depan, membangun visi, misi, dan strateji serta mengembangkan langkah-langkah kebijakan, sistem kelembagaan dan manajemen pemerintahan yang relevan dengan kompleksitas perkembangan, permasalahan, dan tantangan yang dihadapi pada tataran nasional maupun internasional
Secara historikal, Indonesia memiliki pola yang sama dalam hal pergantian kepemimpinan nasional, yakni berawal dari krisis ekonomi dan krisis politik. Saiful Mujani (Tempo edisi 36/29 Oktober – 04 November 2007) menerangkan bahwa munculnya kepemimpinan nasional Orde Baru dan Orde reformasi/demokrasi sekarang memang tidak bisa dibandingkan, tapi ada kesamaan yang sangat krusial: ketiga orde tersebut dimulai dari krisis ekonomi-politik. Orde Lama diawali dengan instabilitas pemerintahan, separatisme, dan krisis konstitusi; Orde Baru diawali dengan krisis ekonomi dan konflik antara Orde Lama, terutama PKI, dan lawan-lawannya, terutama Angkatan Darat; dan Orde Demokrasi diawali dengan krisis moneter, dan kemudian kerusuhan massal. Dua krisis sebelumnya melahirkan kepemimpinan alternatif yang relatif masih muda (Soekarno dan Soeharto), sedangkan krisis moneter 1997 tidak. Hal ini menunjukan bahwa kaderisasi kepemimpinan kita jalan di tempat. Kita ketahui bersama bahwa selama sepuluh tahun orde demokrasi, kaum muda hanya menjadi penonton saja. Hal ini memunculkan pertanyaan dalam kepala kita, apakah generasi muda tidak diberikan ruang untuk menjadi aktor utama dalam kepemimpinan nasional? Jika jawabannya adalah ya, maka generasi muda harus merebutnya. Tentunya dengan persiapan yang matang.
Kondisi tersebut menjadi cermin bagi kaum muda untuk tampil mengambil posisi kepemimpinan negeri ini. Kaum muda adalah sosok yang sangat potensial sebagai pemimpin alternatif. Namun, pemimpin alternative jangan samapai menjadi wacana kosong. Pemimpin alternatif adalah sebuah tawaran baru di tengah ‘paceklik’ kepercayaan rakyat terhadap pemerintahan kita sekarang ini. Menurut Firmansyah kepemimipinan alternatif adalah pemimpin yang memiliki tipologi atau pola kepemimpinan transformatif dan transaksional. Lebih lanjut ia mendefinisikan kepemimpinan transformatif sebagai proses yang padanya “para pemimpin dan pengikut saling menaikkan diri ke tingkat moralitas dan motivasi yang lebih tinggi”, seperti kemerdekaan, keadilan, dan kemanusiaan, dan bukan di dasarkan atas emosi, seperti misalnya keserakahan, kecemburuan sosial, atau kebencian. Jadi , antar pimpinan dan yang dipimpin terjadi kesamaan persepsi sehingga mereka dapat mengoptimalkan usaha dan bekerjasama untuk mewujudkan visi menjadi kenyataan kearah tujuan yang ingin dicapai bangsa dan negara. Sedangkan kepemimpinan transaksional dimaknai sebagai gaya kepemimpinan yang intinya menekankan transaksi di antara pemimpin dan bawahan, maka presiden/ pucuk yang dipilih secara langsung oleh rakyat, dan menjadi kontrak politik dan social. Sehingga mampu menyelesaikan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan kesepakatan yang telah dibuat bersama sesuai dengan janji-janji kampanye.
Menjadi pemimpin alternatif pilihan rakyat memang tidak mudah, apalagi bagi tokoh muda negeri ini. Tokoh muda harus memiliki kriteria pemimpin yang ideal antara lain menurut Saiful Mujani adalah, bisa dipercaya (integritas), empati pada rakyat, punya penampilan berwibawa, cukup enak dilihat, dan dinilai mampu memimpin untuk mengatasi masalah-masalah yang dirasakan paling mendesak oleh rakyat, terutama yang berkaitan dengan ekonomi (kompetensi). Selain kapasitas personal tersebut, harus diakui bahwa dari segi popularitas tokoh muda jauh ketinggalan dibandingkan dengan tokoh-tokoh yang sudah populis dimana didominasi oleh kaum tua. Sebut saja Amin Rais, Sutiyoso, Sultan Hamengkubuwono, Megawati, dan SBY-JK. Untuk mendongkrak popularitas, media merupakan wadah yang belum tergantikan perannya hingga saat ini. Di samping itu juga, tokoh-tokoh muda juga harus mampu membangun jaringan lintas organisasi mahasiswa dan kepemudaan baik regional maupun nasional, organisasi keprofesian, ormas serta membangun jaringan lintas partai.
KAMMI dan Kepemimpinan Alternatif
Menjadi menarik jika wacana kepemimpinan alternatif ini direfleksikan dalam konteks suksesi kepemimpinan pada organisasi mahasiswa yang bernama Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (KAMMI). Dalam pemahaman saya, KAMMI sebagai basis kader muda bangsa harus mencitrakan dirinya sebagai basis kepemimpinan alternative. Sebagaimana yang kita pahami, bahwa kepemimpinan alternative adalah mereka yang memiliki tipologi atau pola kepemimpinan transformatif dan transaksional. Kepemimpinan transformatif adalah pemimpin yang yang mampu mendesain visi pribadi menjadi visi bersama serta menterjemahkannya ke dalam bentuk praksis atau kerja nyata. Kepemimpinan transaksional adalah mereka yang berani melakukan kontrak politik dengan seluruh jajaran KAMMI yang ada di Indonesia. Selain itu juga, kepemimpinan transaksional harus mampu membuat target yang jelas terkait dengan pengembangan KAMMI ke depannya. Kepemimpinan alternative tidak lahir begitu saja, akan tetapi mereka harus mampu melewati ujian kepemimpianan dalam skala kepemimpinan terkecil. Setidaknya dengan ujian tersebut akan menjadi bekal mereka menuju kepemimpinan nasional. Sebagai ujian awal, beranikah calon ketua umum KAMMI melakukan kontrak politik dengan seluruh jajaran KAMMI seluruh Indonesia untuk menciptakan transparansi kebijakan selama menjabat ketua umum KAMMI? Kita tunggu saja nyali para kandidat!